Sunday, November 28, 2010

strukturalisme

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran-pemikiran para filsuf di masa lalu menarik untuk dibahas dan dipahami secara mendalam. Hal ini dilakukan karena pemikiran mereka banyak menjadi dasar dalam kehidupan. Seperti halnya strukturalisme, pemikiran-pemikiran dari teori ini sering dikaitkan dengan budaya.
Strukturalisme menjadi dasar pemikiran pokok juga dalam hal linguistik, pada saat itu, linguistik menjadi sangat berkembang. Strukturalisme populer karena berdasar pada bahasa dan interaksi manusia terhadap lingkungan.


B. Tujuan
Untuk mengetahui secara mendalam tentang strukturalisme, mulai dari pengertian, sejarah dan perkembangan, tokoh dan juga kaitannya dengan ilmu kebudayaan, sehingga mahasiswa menjadi lebih paham mengenai strukturalisme.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040). Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040)

B. Sejarah dan Perkembangan
Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan sosial di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.
Strukturalisme berkembang pesat di Perancis dengan tokoh-tokoh utama selain Claude Levi-Strauss, yaitu Micheal Foucault, J. Lacan, dan R. Barthes. Aliran ini muncul ketika filsafat eksistensialisme mulai pudar. Masyarakat yang semakin kaya dan dikendalikan oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis mapan dan terkomputerisasi memudarkan aliran humanisme romantis eksistensialis yang berkisar pada subyek otonom, daya cipta perorangan, penciptaan makna, dan pilihan proyek masa depan serta dunia bersama sebagai tempat tinggal yang manusiawi. Usaha eksistensialisme untuk mengubah dan memperbaiki keadaan tersebut tidak berdaya dihadapkan pada kenyataan-kenyataan struktur yang makin kuat yang mengutamakan kemantapan dan keseimbangan struktural daripada dinamika kreatif dari si subyek. Dengan diilhami oleh Marx dan Freud, para strukturalis menyangsikan istilah-istilah kaya kunci eksistensialis seperti, "manusia", "kesadaran intensional", "subyek", "kebebasan", "otonomi" dan menggantinya dengan istilah-istilah mereka, yaitu: "ketidaksadaran", "struktur", "diskursus", "penanda" dan "pertanda".
Meskipun banyak pertentangan antara eksistensialisme dan strukturalisme tapi ada juga yang saling melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia terjebak dalam suatu struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika manusia lahir ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki peran, meskipun kemudian ia mampu memilih atau membuat sendiri sebuah struktur, tapi ia kembali akan terjebak di dalamnya. Pandangan ini mirip dengan faktisitasnya Heidegger dimana manusia terlempar ke dunia tanpa bisa dirundingkan lebih dulu. Perbedaannya faktisitas mengandaikan adanya kebebasan yang menegaskan eksistensialitas manusia. Sedangkan keterjebakkan manusia dalam jaring-jaring struktur mengandaikan hilangnya unsur subyek dan obyek, semua hanyalah bagian dari tenunan struktur. Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan sosial di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.

C. Tokoh
Seiring dengan perkembangan ilmu, terdapat beberapa tokoh strukturalisme, antara lain :
1. Levi-Strauss
Sebelum membicarakan teori strukturalisme Levi-Strauss, akan lebih baik jika kita membicarakan sejarah hidup Levi-Strauss secara singkat. Hal ini penting mengingat perjalanan hidup penggagas teori antropologi struktural ini sangat dinamis. Latar belakang pendidikan, pengalaman kerja dan tentunya pola pikirnya sangat menentukan dalam apa yang dicetuskan dalam teori strukturalnya.
Selain itu, yang juga sangat menentukan dalam pandangan-pandangan Levi-Strauss adalah hubungannya dengan para pakar berbagai bidang di Brazil, Perancis maupun saat ia berada di New York. Pertemuannya dengan para pakar dari berbagai bidang ilmu itu telah melahirkan berbagai konsep yang sangat penting dalam membentuk teori budaya yang sangat unik itu. Dikatakan sangat unik karena memang belum terpikirkan oleh para pakar di bidang antropolgi sebelumnya.
Levi-Strauss dilahirkan pada 28 November 1905 di Brussles, Belgia. Ia adalah keturunan Yahudi. Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss seorang artis dan juga anttota keluarga intelektual Yahudi Perancis (Intelectual French Jewish familily). Sedangkan ibunya bernama Emma Levy.
Minat utama Levi-Strauss sebenarnya adalah ilmu hukum. Ia mempelajari hukum di fakultas hukum Paris pada tahun 1927. Di tahun yang sama ia juga mempelajari filsafat di universitas Sorbonne. Ia pernah sukses dalam bidang hukum ketika ia telah mendapatkan lisensi dalam bidang hukum. Penguasaan dalam bidang hukum mengenai aliran-aliran filsafat materialisme historis ini turut mendorong kesuksesannya dalam bidang antropologi.
Hal yang paling penting dan sangat berpengaruh terhadap loyalitasnya di bidang antropologi adalah ketika ia membaca buku Primitive Society yang ditulis oleh Robert Lowie. Buku itu cukup mengesankan bagi Levi-Strauss dan mendorongnya untuk mengadakan beberapa studi mengenai masyarakat primitif. Bahkan ia menjadi bosan mengajar di Mont de-Marsan lycee dan berkeinginan untuk mengadakan perjalanan keliling dunia.
Levi-Strauss menciptakan suatu teori yang memusatkan pada struktur linguistik (Ritzer, 2004 : 603). Teori ini sebenarnya lebih terkenal sebagai teori Antropologi, tetapi dalam perkembangannya juga dimasukkan dalam teori Sosiologi. Strukturalisme memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, justru memiliki peran yang sangat penting dalam menemukan dan memahami gejala sosial budaya, misalnya adalah bagaimana kita mungkin bisa memahami suatu fenomena sosial dengan menggunakan analisis sebagaimana para ahli Linguistik memahami bahasa.
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi, bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk mengungkap persoalan budaya dapat dilakukan melalui atau mencontoh metode bahasa (ilmu bahasa). Marcel Mauss (dalam Allen Lane, 1968) menuliskan bahwa:
“Sociology would certainly have progressed much further if it had everywhere followed the lead of the linguists……”.
Maksudya Sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa dalam memahami gejala sosial. Salah satu ilmuwan sosial yang menggunakan cara bagaimana memahami bahasa dalam menjelaskan fenomena sosial adalah Levi-Strauss.
Levi-Strauss melakukan konseptualisasi ulang di bidang Antropologi dengan sebutan "tiga nyonya" yaitu geologi, psikoanalisis, dan Marxisme untuk membantu membentuk tren dalam ilmu-ilmu sosial dan teori sastra, dan dipengaruhi oleh intelektualisme seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida. Lahir di Belgia, Levi-Strauss belajar filsafat di universitas Sorbonne, Paris dan mengajar Sosiologi di Brasilia pada 1930-an. Teori-teorinya didasarkan hasil penelitannya di belantara Amazone di Brasilia. Sebagian besar teorinya dibangun selama 3 tahun ketika menghabiskan waktu bersama suku Indian di pedalaman Brasil.
Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru yang membuka jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat penemuan-penemuan dalam bidang Antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau Antropologi yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh para ahli bidang linguistik. Proses inilah yang kemudian melahirkan teori Strukturalisme Levi-Strauss itu.

2. Ferdinand de Saussure
Beliau banyak disebut orang sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan strukturalisme.Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme. Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di bidang lingustik. Ia yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap. Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh de Saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia.
Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:
1) Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman)
2) Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.
3) Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem).
Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teori ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah.





3. Pierre Bourdieu
Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme, terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser.
Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang berjudul ”outline of a theory of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi yang unik karena berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut.
Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakan-tindakan praktis dalam kehidupan sosial. Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran terdahulu.
Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya.
Secara dialektis habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”. Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama. Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang individu bereaksi secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur oleh dunia sosial.
Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai cara, yaitu:
• Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup)
• Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)
• Sebagai perilaku yang mendarah daging
• Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)
• Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis
• Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang karier.
Habitus membekali seseorang dengan hasrat. Motivasi, pengetahuan, keterampilan, rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu, keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan yang berbeda.
Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubung posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghubung posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain.
Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua, menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.
Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modal lah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.

D. Strukturalisme dan Ilmu-Ilmu Kebudayaan
Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta diakronis dan sinkronis. Semua realitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.
Modal budaya memiliki beberapa dimensi, yaitu:
• Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
• Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi
• Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)
• Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.
• Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan buruk.
Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam memahami kebudayaan, yaitu:
1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (significant/signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié/signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.
2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.
3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.

Kekerabatan diperlakukan oleh Levi-Strauss sebagai bahasa, dasar pemikirannya adalah bahwa aturan-aturan yang diikuti oleh suku-suku bangsa primitif dalam bidang kekerabatan dan perkawinan adalah merupakan suatu sistem. Sistem-sistem tersebut terdiri atas relasi-relasi dan oposisi-oposisi seperti suami>< malam, hitam >< putih, laki-laki >< perempuan.
• Sebagaimana orang menerapkan hukum-hukum bahasa tanpa sadar, demikianpula orang menjalankan hukum-hukum dalam hidup sosial-kemasyarakatan tanpa sadar.

Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas jelas bahwa strukturalisme terkait erat dengan antropologi dan penggunaan bahasa. Hal ini dikarenakan tokoh yang mempelopori strukturalisme adalah Levi Strauss dan de Saussure. Levi Strauss jelas memiliki latar belakang dalam bidang antropologi, sehingga teorinya tentang strukturalisme lebih mengarah pada kebudayaan yang berakar pada pertukaran, yaitu pernikahan pria-wanita yang berasal dari klan yang berbeda. Lalu, Levi-Strauss juga menganggap incest sebagai suatu larangan positif karena mencegah manusia dari mendapat keturunan yang buruk.
De Saussure muncul sebagai Bapak Strukturalisme karena gagasannya tentang strukturalisme yang terkait erat dengan bahasa. Ia mengelompokkan tanda bahasa (symbol) ke dalam Penanda dan Petanda. Keduanya akan saling terkait karena tidak mungkin imaji sutu benda akan terkait dengan konsepnya itu sendiri.
Banyaknya kekurangan dalam strukturalisme menjadi pemikiran Pierre Bourdieu. Ia menganalisa subyektivisme dalam strukturalisme dan pengabaian peran pelaku dan tindakan praktis dari strukturalisme itu sendiri. Untuk itu Bourdieu mengelompokan 3 hal dalam menganalisa tindakan masyarakat, yaitu habitus, field dan modal. Ketiga hal tersebut cenderung membuat manusia hidupnya terarah pada kekayaan harta.
Asumsi-asumsi dari para filsuf telah membuat teori strukturalisme menjadi sangat dekat dengan kebudayaan dan linguistik. Sehingga strukturalisme cenderung mengatur tentang lingkungan dan interaksi berbahasa.

B. Saran
Hingga saat ini sepertinya teori strukturalisme tidak pernah dikembangkan lagi. Padahal masih banyak kekurangan yang harus dilengkapi untuk membuat perubahan lainnya. Terlebih di Indonesia, teori strukturalisme dijadikan pedoman untuk mengolah kekayaan Negara, dan sering diselewengkan menjadi kekayaan pribadi. Untuk itu, seharusnya ada lembaga atau seseorang yang benar-benar mampu mengelola kekayaan Negara untuk rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 2005. Analisis Struktural Lévi-Strauss Terhadap Tiga Lakon Karya Arthur S. Nalan : Kajian Transformasi Tokoh dalam Rajah Air, Kawin Bedil dan Sobrat. Tesis Pascasarjana Antropologi. Universitas Gadjah Mada.
Ahimsa-Putra, H.S. 1984. “Strukturalisme Lévi-Strauss : Sebuah Tanggapan”. Basis XXXIII (4) : 122-135.
Ahimsa-Putra, Shri, H., 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, kepel Press, Yogyakarta.
Bagus, Loren. 1996.”Kamus Filsafat”. Jakarta: Pustakan Gramedia
Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005.”(Habitus x Modal) + Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu”. Yogyakarta: Jalasutra
Lechte, John. 2001.”50 Filusuf Kontmporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas”. Yogyakarta: Kanisius
Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj. Antropologi Struktural, 2007), Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji, Hendar Putranto. 2006.” Teori-teori Kebudayaan”. Yogyakarta: Kanisius
Wibowo, Arif. 2008. Strukturalisme dan Implikasinya. (http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/10/08/strukturalisme-dan-implikasinya/, diakses pada 3 November 2010)


Read More..